![]() |
| Syahbandar Panglima Tibang Muhammad, sumber foto: media KITLV |
Dalam sejarah perang Aceh-Belanda, ada suatu peristiwa lain yang sangat penting. Peristiwa itu adalah pertemuan antara Syahbandar Panglima Tibang Muhammad sebagai utusan Kerajaan Aceh dengan Mayor Studer, Konsul Amerika Serikat di Singapura pada penghujung tahun 1872. Peristiwa ini menjadi penting karena dua hal, yaitu sebagai suatu gebrakan yang berani dari diplomasi Aceh untuk mempertahankan kedaulatannya dan juga merupakan salah satu penyebab meletusnya perang kolonial Belanda di Aceh (menurut anggapan Belanda), atau penyebab yang mempercepat pecahnya perang tersebut (menurut versi Indonesia).
Pertemuan Singapura itu oleh Belanda disebut sebagai Het Verraad van Singapore atau Pengkhianatan di Singapura.
Menurut Belanda, komplotan pengkhianat ini terdiri atas Studer, Konsul Amerika Serikat di Singapura dan Sultan Aceh. Padahal seharusnya Belanda juga menyebut Panglima Tibang Muhammad sebagi salah satu komponen komplotan pengkhianat ini, namun hal itu tidak dilakukan. Sultan Aceh disebut sebagai pengkhianat sebab beliau yang mengutus Panglima Tibang ke Singapura untuk berunding dengan Studer guna mengikat perjanjian persahabatan dengan Amerika Serikat. Studer dianggap pengkhianat karena berkomplot dengan utusan Sultan Aceh untuk dapat melakukan intervensi ke dalam masalah hubungan Belanda dengan Aceh. Sultan Aceh juga dituduh berkhianat karena melanggar Perjajian Perdamaian dan Persahabatan antara Kerajaan Belanda dan Kerajaan Aceh tahun 1857. Kedua tokoh ini menurut Belanda bertanggung jawab atas terjadinya Perang Aceh-Belanda itu.
Demikianlah pandangan Pemerintah Belanda yang dicanangkan kepada dunia internasional. Demikian pula pendapat para ahli sejarah Belanda yang disajikan dalam bentuk buku sehingga mempengaruhi opini pembaca di seluruh dunia.
Selama 80 tahun lebih, kejadian yang sebenarnya daru Peristiwa Singapura itu tidak diketahui oleh dunia kerena ditutupi rapat oleh Belanda. Peristiwa tersebut baru terungkap pada tahun 1957 setelah Pemerintah Belanda membuka segala arsipnya yang menyangkut dengan Perang Aceh-Belanda untuk pertama kalinya kepada seorang penulis Amerika, James Warren Gould, seorang ahli International Relation dari California. Hasil penelitiannya yang cukup menarik perhatian dunia disiarkan dalam sebuah majalah yang bernama Annals of Iowa. Dunia terperanjat karena kebohongan yang ditutup oleh Belanda lebih dari 80 tahun terbongkar. Ternyata yang dituduh Belanda melakukan pengkhianatan di Singapura bukan Studer dan Panglima Tibang Muhammad, atau Sultan Aceh, melainkan mata-mata Belanda yang sangat licik, Tengku Muhammad Arifin dan Read, Konsul Belanda di Singapura. Tengku Muhammad Arifin adalah petualang kelas teri, sedangkan Read adalah petualang kelas kakap dan cukup terkenal di Kepulauan Nusantara.
Bagaimana kisah pengkhianatan-pengkhianatan tersebut bisa terjadi, sehingga menyebabkan pecahnya perang kolonial yang berkecamuk di Aceh lebih dari tiga dasawarsa?
Beberapa waktu setelah Panglima Tibang tiba di Kutaraja dari Singapura, suatu berita penting sampai ke telinga Sultan, yaitu bahwa Belanda akan menyampaikan ultimatum kepada Sulran Aceh. Atas perintah Sultan, Panglima Tibang mendadak berangkat ke Riau untuk meminta keterangan kepada Schiff, Residen Riau yang melaksanakan operasi politik ke Aceh dari sebelah timur (dari sebelah barat, operasi politik ke Aceh dilaksanakan oleh van Swieten, Gubernur Sumatera Barat). Kali ini beliau berangkat dalam suatu perutusan yang terdiri atas Tgk. Nyak Muhammad, Tgk. Lahuda Muhammad Said, Tgk. Nyak Akob, dan Tgk. Nyak Agam, dengan Panglima Tibang sebagai ketua perutusan. Tentu saja Schiff membantah berita yang sampai ke telinga Sultan Aceh. Belanda tetap beritikad baik terhadap Sultan dan tetap memegang teguh perdamaian dan persahabatan dengan Aceh.
Setelah sebulan di Riau, Panglima Tibang diantar pulang ke Aceh dengan Kapal Perang Marnix. Tetapi, Panglima Tibang mengatakan kepada Schiff bahwa dia ingin singgah ke Singapura untuk membeli sebuah kapal api guna kepentingan transportasi di Aceh.
Di Singapura, Panglima Tibang mengambil kesempatan untuk bertemu dengan Studer. Seperti pada kesempatan pertama, kali ini beliau juga ditemani oleh Arifin, yang tentu diperintahkan oleh Read, majikannya yang telah menerima informasi dari Schiff di Riau.
Berbicara tentang Arifin, dia sungguh seorang mata-mata Belanda yang sangat licik, pintar menjilat, serta pembohong besar yang tidak punya rasa malu. Pada saat pertama kali Panglima Tibang tiba ke Singapura, beliau sebenarnya telah mendapat seorang jurubicara. Akan tetapi, atas bujuk rayu Arifin yang sangat berbisa, orang tersebut digeser dan Arifin menggantikannya. Mungkin Panglima Tibang terpengaruh oleh godaan bahwa Arifin adalah anak seorang pangeran dari Moko Moko, Bengkulu dan mempunyai hubungan dengan Keraton Aceh. Menurut salah satu sumber, Arifin pernah kawin dengan putri kemenakan Sultan Aceh yang terdahulu. Selain itu, juga berlagak kenal baik dengan Studer. Memang dia pernah menemui Studer sewaktu meminta bantuan Amerika agar ayahnya mendapatkan kembali "mahkota" yang telah dicopot oleh Belanda dan diberikan kepada orang lain.
Pertemuan kedua, saat menyeret Amerika terlibat dalam sengketa politik yang sedang berkembang antara Aceh dan Belanda. Perlu diketahui pula bahwa pada bulan Januari 1872, sebelum Panglima Tibang datang ke Singapura, Arifin pernah menemui Laksamana Jenkins, Panglima Angkatan Laut Amerika di Hong Kong yang singgah di Singapura dalam perjalanannya ke Kalkuta. Dengan berpura-pura sebagai seorang pangeran yang mempunyai hubungan dengan Keraton Aceh, Arifin menyatakan apakah Rear Admiral Jenkins tidak berminat mengikat suatu perjanjian dengan Aceh? Jenkins menjawab bahwa Amerika tidak seperti Inggris dan Belanda. Amerika tidak mempunyai ambisi teritorial. Jawaban tersebut membuat Arifin tidak berani membuka mulut lagi. Jadi, usaha Arifin untuk menyeret Amerika intervensi ke dalam hubungan Belanda dengan Aceh sudah dimulai sebelum Panglima Tibang tiba di Singapura. Hal ini tidak mengherankan. Sebab, Arifin sebagai petualang besar berkebangsaan Inggris, yang sangat berkepentingan melihat Belanda mengadakan ekspansi ke Aceh. Mungkin karena iniliah dia diterima jadi Konsul Jenderal Belanda di Singapura walaupun bukan warga negara Belanda.
Di dalam pertemuan dengan Studer, Panglima Tibang pertama-tama menyatakan penyesalannya karena naskah perjanjian belum selesai dibuat berhubung mendadak harus berangkat ke Riau atas perintah Sultan sebagai ketua misi. Selanjuynya, Panglima Tibang menanyakan apakah naskah perjanjian tidak dapat dibuat di Singapura sekarang juga agar dapat dikirim ke Washington secepatnya. Pertanyaan ini diajukan mengingat (1) keadaan yang sangat mendesak, (2) perjalanan Singapura-Kutaraja memakan waktu yang cukup lama, dan (3) dia kini telah dibekali mandat penuh oleh Sultan sebagai utusan yang diberi wewenang untuk berunding.
Dalam jawabannya, Studer tetap pada pendiriannya bahwa tidak mempunyai wewenang untuk membuat suatu perjanjian. Namun, berjanji secepatnya akan mentransfer naskah perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan kepada Pemerintah Amerika Serikat.
Selanjutnya, mereka kembali mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dari perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar. Apa yang dibicarakan oleh kedua tokoh itu belum pernah diformulasikan dalam bentuk rancangan yang tersurat. Jadi, tidak benar kalau ada orang yang mengatakan bahwa Studer telah menulis rancangan perjanjian Aceh-Amerika.
Laporan yang disampaikan Arifin kepada majikannya, Read, berlainan dengan yang telah terjadi. Selain menyampaikan pembicaraan antara Panglima Tibang dan Studer, Arifin menambahkan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkins supaya berangkat ke Aceh. Dan akhirnya Arifin meminta agar mengirimkan kapal perang Belanda ke Aceh.
Kebohongan Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke. Isinya adalah:
Satu hal yang perlu diketahui, rancangan perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Tibang usai.
Sebenarnya, setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Satu hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut kepada Meir, wakil Read. Baru dua minggu kemudian Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku dan uang jalan. Setelah dua hari berada di Singapura, Read mengirim kawat kepada Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer sebagai berikut:
Pada hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan-tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda. Di samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Amerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris. Selain itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura; dan Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar membawa kapal perangnya ke perairan Aceh. Pemerintah Belanda memadang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban). Keesokan harinya, sebagai langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan perjanjian dengan perutusan Aceh.
Baca juga bagian 2: Pertemuan Panglima Tibang dengan Studer (Bagian 2)
Sumber tulisan di atas sepenuhnya diambil dari H. M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 64-70.
Di dalam pertemuan dengan Studer, Panglima Tibang pertama-tama menyatakan penyesalannya karena naskah perjanjian belum selesai dibuat berhubung mendadak harus berangkat ke Riau atas perintah Sultan sebagai ketua misi. Selanjuynya, Panglima Tibang menanyakan apakah naskah perjanjian tidak dapat dibuat di Singapura sekarang juga agar dapat dikirim ke Washington secepatnya. Pertanyaan ini diajukan mengingat (1) keadaan yang sangat mendesak, (2) perjalanan Singapura-Kutaraja memakan waktu yang cukup lama, dan (3) dia kini telah dibekali mandat penuh oleh Sultan sebagai utusan yang diberi wewenang untuk berunding.
Dalam jawabannya, Studer tetap pada pendiriannya bahwa tidak mempunyai wewenang untuk membuat suatu perjanjian. Namun, berjanji secepatnya akan mentransfer naskah perjanjian yang telah ditandatangani oleh Sultan kepada Pemerintah Amerika Serikat.
Selanjutnya, mereka kembali mendiskusikan masalah-masalah yang dirasakan layak menjadi isi dari perjanjian Aceh-Amerika, yakni mengenai hal-hal yang diinginkan oleh Amerika dan yang dapat diberikan oleh Aceh dalam batas-batas yang wajar. Apa yang dibicarakan oleh kedua tokoh itu belum pernah diformulasikan dalam bentuk rancangan yang tersurat. Jadi, tidak benar kalau ada orang yang mengatakan bahwa Studer telah menulis rancangan perjanjian Aceh-Amerika.
Laporan yang disampaikan Arifin kepada majikannya, Read, berlainan dengan yang telah terjadi. Selain menyampaikan pembicaraan antara Panglima Tibang dan Studer, Arifin menambahkan bahwa Studer telah menyusun sebuah perjanjian antara Aceh dan Amerika yang terdiri atas 12 pasal dan akan menulis surat kepada Laksamana Jenkins supaya berangkat ke Aceh. Dan akhirnya Arifin meminta agar mengirimkan kapal perang Belanda ke Aceh.
Kebohongan Arifin terungkap dalam surat Read tertanggal 15 Juni 1873 kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Gericke. Isinya adalah:
Untuk memastikan isi perjanjian itu Muhammad Arifin telah membuatnya ~ begitu katanya ~ dalam bentuk perjanjian yang pernah dibuat antara beberapa negara dengan Siam, rancangan yang dibacakan sendiri oleh Muhammad Arifin kepada Studer, tetapi Studer kurang setuju dengan rancangan perjanjian tersebut. Ia mengambil sebuah buku, kemudian membaca teks perjanjian Brunei dalam bahasa Inggris, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh seorang kerani konsulat, sedangkan Arifin menulisnya.Mayor Studer sendiri kemudian menerangkan dalam laporannya, bahwa sama sekali tidak bermaksud mengusulkan diadakannya perjanjian dengan Aceh. Akan tetapi, Arifin-lah yang mengajukan dengan membawa naskah rancangan perjanjian itu kepadanya. Perutusan hanya membawa sebuah surat dari Sultan Aceh yang meminta bantuan Amerika Serikat. Keterangan Studer ini sesuai dengan pengakuan Arifin di dalam proses verbal yang dibuat di depan Jenderal Verspijk, Kepala Biro Perbekalan Peperangan Belanda yang sedang mempersiapkan ekspedisi Belanda kedua terhadap Aceh.
Satu hal yang perlu diketahui, rancangan perjanjian yang dibuat oleh Arifin bukan diserahkan kepada Studer dalam pertemuan antara Studer dan Panglima Tibang, tetapi diserahkan pada waktu Arifin datang sendirian mengunjungi Studer beberapa waktu setelah pertemuan dengan Tibang usai.
Sebenarnya, setelah pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer usai, Arifin tidak langsung mengirimkan laporan kepada Read karena pada waktu itu Read berada di Bangkok. Satu hal yang tidak dapat dimengerti adalah mengapa Arifin tidak menyampaikan laporan tersebut kepada Meir, wakil Read. Baru dua minggu kemudian Arifin menulis surat kepada Read di Bangkok mengenai pertemuan antara Panglima Tibang dan Studer. Setelah menerima surat Arifin, Read langsung kembali ke Singapura. Segera Arifin diperintahkan untuk berangkat ke Riau menyampaikan laporan tersebut kepada Residen Schiff. Ia diberi uang saku dan uang jalan. Setelah dua hari berada di Singapura, Read mengirim kawat kepada Loudon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, mengenai pertemuan Panglima Tibang dengan Studer sebagai berikut:
Intrik-intrik yang sangat serius antara perutusan Aceh dan Konsul Amerika di Singapura terungkap; hal ini memerlukan pertimbangan langsung. Perincian dikirim dengan kapal yang pertama.Keesokan harinya, Read mengirimkan laporan seperti berikut ini:
Perutusan menyampaikan kepada Konsul Italia dan Amerika surat Sultan Aceh yang meminta bantuan untuk menghadapi Belanda. Konsul Amerika berjanji akan menyurati Laksamana Jenkins di Cina dan telah menyusun sebuah perjanjian 12 pasal yang akan ditandatangani oleh Sultan dan akan mengirimkan kembali. Orang-orang Amerika siap sedia datang dalam waktu dua bulan. Informasi ini kiranya mendapat kepercayaan sepenuhnya.Laporan Read tersebut telah menimbulkan kegemparan di Batavia. Sebuah telegram yang mengandung pokok-pokok sial yang terdapat dalam laporan Read dikirim oleh Loudon ke Den Haag. Pada tanggal 18 Februari 1873, Menteri Luar Negeri Belanda memohon kepada raja untuk mempertimbangkan, bukankah sudah tiba saatnya Pemerintah Belanda melaksanakan tugasnya menjamin keamanan di Aceh seperti yang diwajibkan oleh perjanjian 1824, tentunya dengan cara damai, selama kita tidak dipaksa oleh Aceh sendiri mempergunakan kekerasan.
Pada hari yang sama Menteri Luar Negeri Belanda meminta kepada Washington dan Roma untuk menyangkal tindakan-tindakan konsulnya di Singapura dan menjernihkan permasalahan bersama dengan negara-negara besar lainnya, atas dasar bahwa perlindungan terhadap perdagangan di perairan Aceh menjadi kewajiban Belanda. Di samping itu, Kementerian Luar Negeri Belanda mengirimkan nota kuasa kepada Duta Besar Belanda di Washington untuk menyampaikan kepada Fish, Menteri Luar Negeri Amerika, suatu nota yang menggambarkan bahwa Belanda telah melaksanakan kewajibannya menjamin keamanan pelayaran dan perdagangan di perairan Aceh sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatanganinya dengan Inggris. Selain itu, disebutkan pula Belanda telah mengetahui bahwa perutusan Aceh telah mengadakan hubungan dengan Konsul Amerika di Singapura; dan Belanda bermaksud mengadakan suatu perjanjian dengan mereka. Bahkan lebih jauh, Amerika disebutkan sedang bersiap-siap memanggil panglima angkatan lautnya di Laut Cina agar membawa kapal perangnya ke perairan Aceh. Pemerintah Belanda memadang tindakan-tindakan tersebut dapat meningkatkan perlawanan Aceh, dan yakin bahwa Pemerintah Amerika Serikat tidak bermaksud merintangi Belanda, bahkan sebaliknya akan bersimpati dan memberikan dukungan dalam usaha melaksanakan action civilisatrice (usaha membawa peradaban). Keesokan harinya, sebagai langkah selanjutnya Belanda memohon kepada Menteri Luar Negeri Amerika agar meminta Studer menghentikan usahanya mengadakan perjanjian dengan perutusan Aceh.
Baca juga bagian 2: Pertemuan Panglima Tibang dengan Studer (Bagian 2)
Sumber tulisan di atas sepenuhnya diambil dari H. M. Nur El Ibrahimy, Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1993, halaman 64-70.

Tinggalkan komentar
Berkomentarlah dengan bijak dan baik